Soal Perkawinan Beda Agama, PPP : Langgar UU dan Cederai Pancasila

0
129
Ilustrasi Pernikahan Foto: Popbela.com

JAKARTA – Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengesahkan pernikahan beda agama pasangan Islam dan Kristen. Hal ini mendapat tanggapan dari Anggota DPR RI Fraksi PPP KH. Muslich Zainal Abidin. Menurutnya keputusan PN tersebut tidak dapat dibenarkan karena telah mencederai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

“Pernikahan tersebut tidak sah karena UU Perkawinan di Indonesia yang berlaku pernikahan beda agama dianggap tidak sah oleh hukum kecuali salah satu pihak mengikuti agama pihak lainnya,” jelas politisi PPP ini, senin (20/6/2022).

Dia mengungkapkan, Kompilasi Hukum Islam juga telah mengatur perkawinan antar pemeluk agama. Pasal 40 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.

“Setiap warga negara harus tunduk dan patuh pada perundang-undangan yang berlaku, pada Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, setiap orang harus menjadikan agama sebagai landasan dasar dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara,” terang Muslich.

Dia menjelaskan, peraturan soal pernikahan di Indonesia dalam Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.

“Dalam UU Perkawinan tersebut menitik beratkan pada hukum agama dalam melaksanakan perkawinan, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama,” ungkapnya.

“Itu artinya, bila hukum agama tidak memperbolehkan perkawinan beda agama, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Boleh atau tidaknya perkawinan beda agama tergantung pada ketentuan agamanya,” imbuh dia.

Tidak hanya itu, terang Muslich, bahwa pernikahan beda agama tidak hanya dilarang oleh Islam saja. Namun agama lain turut melarang untuk melakukan pernikahan beda agama.

“Kita juga tahu, bahwa menikah berbeda agama menurut agama selain Islam juga dilarang dan tidak sah,” tegasnya.

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyayangkan keputusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang memberi izin nikah beda agama terhadap dua mempelai, RA dan EDS, agar akta perkawinannya tercatat di Dukcapil Kota Surabaya.

“Pasangan berbeda agama dan berbeda keyakinan bertentangan dengan UU No.1 Tahun 1974 pasal Pasal 2 ayat 1, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,” ujar Sekjen MUI Amirsyah Tambunan seperti dilansir Antara dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (22/6).

Amirsyah mengatakan pernikahan beda agama di negara Indonesia bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 29 tentang kebebasan dan kemerdekaan memeluk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam pasal tersebut, kata dia, dijelaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Selain itu, pernikahan beda agama juga melawan konstitusi yang telah dijelaskan pada UUD 1945 Pasal 28 B. Dalam pasal 28 B (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

“Dengan perkawinan beda agama maka terjadi pertentangan logika hukum, karena selain beda agama juga berbeda kepercayaan yang dianut oleh calon pasangan suami istri yang dalam kasus ini harus ditolak atau dibatalkan,” kata Amirsyah.

Hakim tunggal PN Surabaya Imam Supriyadi mengabulkan permohonan pasangan beda agama yang melakukan perkawinan itu.

Hakim Imam mengizinkan dua warga Surabaya berinisial RA dan EDS sebagai pasangan pengantin melangsungkan nikah beda agama di hadapan pejabat Dinas Dukcapil Kota Surabaya. Hakim juga memerintahkan Dinas Dukcapil Kota Surabaya mencatat pernikahan kedua mempelai itu.

Sejoli itu sudah menikah secara Islam dan Kristen. Namun kemudian ditolak pencatatan akta pernikahannya oleh Dukcapil Surabaya karena menikah beda agama. Hal itu yang kemudian mendasari keduanya mengajukan gugatan ke PN Surabaya.

Wakil Humas PN Surabaya Gede Agung kemudian memberikan alasan pertimbangan hakim Imam tersebut. Salah satunya adalah karena ada kekosongan hukum terkait pernikahan beda agama.
Menurut Agung, dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak diatur soal pernikahan beda agama.

“Dengan pertimbangan bahwasannya adalah Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan tidak mengatur mengenai perkawinan beda agama. Oleh karena itu dipertimbangkan untuk mengabulkan permohonannya untuk mengisi kekosongan aturan-aturan Undang-Undang Perkawinan,” kata Agung di kantornya, Selasa (21/6).

Karena adanya kekosongan hukum itu, dan RA dan EDS ingin pernikahan mereka tercatat dalam akta pernikahan di Dukcapil Surabaya. Hakim merujuk sesuai Pasal 35 huruf (a) UU Nomor 23 tahun 2006 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Pendudukan (Adminduk), menilai harus ada penetapan dari pengadilan untuk mencatat akta pernikahan tersebut.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini