Terkait Pulau Rempang, Panglima TNI Sebut Kirim Polisi Militer 

0
43
Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono. (Dok Dispenal)

RADARNASIONAL – Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono menyampaikan bahwa posisi prajurit TNI di Pulau Rempang, Batam hanya membantu tugas polisi.

“Sudah dari awal kami sampaikan kepada pangdam maupun pangarmada, danlantamal, danrem di sana, TNI yang di sana (Pulau Rempang) sifatnya perbantuan kepada Polri,” kata Yudo.

Hak tersebut dia ungkapkan saat menjawab pertanyaan wartawan di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Selasa (12/9).

Yudo menjelaskan, TNI menurunkan tim dari polisi militer di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau untuk mencegah adanya prajurit TNI yang ikut terlibat dalam sengketa kepemilikan tanah di lokasi tersebut.

“Polisi Militer (POM) TNI kami turunkan, jangan sampai ada prajurit TNI yang terlibat, mungkin apa namanya provokator, atau mungkin punya lahan-lahan yang tidak sah di sana. Kami beri imbauan,” terang Yudo.

Yudo melanjutkan, dirinya menerima laporan dari Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Muda TNI Agung Handoko telah mengirimkan tim gabungan untuk Satuan Tugas POM TNI ke Pulau Rempang.

Sejumlah kelompok masyarakat di Pulau Rempang bentrok dengan polisi pada Kamis (7/9) minggu lalu, karena warga menolak pengukuran lahan untuk pembangunan Rempang Eco-City dari Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Pulau Rempang, yang luasnya kurang lebih 17.000 hektare, direncanakan menjadi kawasan ekonomi terintegrasi yang menghubungkan sektor industri, jasa dan komersial, residensial/permukiman, agro-pariwisata, dan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).

Menkopolhukam Angkat Bicara 

Terkait bentrok itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD meminta polisi menangani aksi massa di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau dengan penuh kemanusiaan.

“Ya kita tetap secara hukum minta aparat penegak hukum untuk menangani masalah kerumunan orang itu atau aksi unjuk rasa atau yang menghalang-halangi eksekusi hak atas hukum itu supaya ditangani dengan baik dan penuh kemanusiaan,” kata Mahfud MD menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Jumat (8/9) minggu lalu.

Dalam kesempatan yang sama, Mahfud menjelaskan bahwa negara telah memberikan hak atas tanah di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau kepada perusahaan.

Mahfud mengatakan, surat keputusan (SK) terkait pemberian hak atas tanah itu dikeluarkan pada 2001 dan 2002.

“Masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu, tanah itu, (Pulau) Rempang itu sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha. Itu Pulau Rempang. Itu tahun 2001, 2002,” kata Mahfud.

“Sebelum investor masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan tidak pernah ditengok, sehingga pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, SK haknya itu sudah dikeluarkan pada 2001, 2002 secara sah,” imbuh Mahfud.

Mahfud melanjutkan, situasi menjadi rumit ketika investor mulai masuk ke Pulau Rempang pada 2022.

“Ketika kemarin pada 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” kata Mahfud MD.

Oleh karena itu, kekeliruan tersebut pun diluruskan, sehingga hak atas tanah itu masih dimiliki oleh perusahaan sebagaimana SK yang dikeluarkan pada 2001 dan 2002.

“Proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan. Bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya, bukan. Tapi proses, karena itu sudah lama, sudah belasan tahun orang di situ tiba-tiba harus pergi. Meskipun, menurut hukum tidak boleh, karena itu ada haknya orang, kecuali lewat dalam waktu tertentu yang lebih dari 20 tahun,” kata Mahfud.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini