JAKARTA – Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Puadi memaparkan data pelanggaran netralitas aparatur sipil Negara (ASN) pada Pemilu 2019 lalu. Total temuan pelanggaran netralitas ASN Pemilu 2019, kata Puadi terdapat 914 temuan.
Dia pun menyebutkan tiga faktor penyebab maraknya pelanggaran netralitas ASN dalam pemilu maupun pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota (pemilihan).
“Laporannya ada 85, diprosesnya ada empat, yang bukan termasuk pelanggaran terdapat 101, dan rekomendasinya ada 894 dari temuan,” katanya dalam diskusi bersama Ombudsman dan Komisi ASN (KASN) di Gedung Ombudsman, Jakarta, Selasa (31/5) lalu.
Bentuk ketidaknetralan ASN pada Pemilu 2019, menurut Puadi bermacam-macam. Dirinya mencontohkan, ada ASN yang memberikan dukungan melalui media sosial atau media massa, ASN melakukan pendekatan tau mendaftarkan diri pada salah satu partai politik.
Lalu, ada juga, ASN mendukung salah satu bakal calon, dia melanjutkan, misalnya perangkat desa memberikan dukungan kepada salah satu bakal calon, ASN mendeklarasikan diri sebagai bakal calon pemerintah daerah, ASN sosialisai bakal calon melalui APK, dan lainnya.
“Contoh kasus netralitas ASN pada Pemilu 2019 yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan yakni ada yang berperan sebagai moderator kampanye tatap muka caleg DPRD kabupaten dan turut aktif menjawab pertanyaan peserta kampanye. Kemudian di akhir kampanye berfoto. Akhirnya orang tersebut dijatuhi pejara selama 6 bulan masa percobaan,” ujarnya.
Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Data dan Informasi Bawaslu tersebut menyoroti banyaknya pelanggaran netralitas ASN yang masih saja terus terjadi baik pada pemilu dan pemilihan kendati berbagai aturan yang melarang ketidaknerralan ASN dalam politik praktis.
“Diskusi dan sosialisasi terkait larangan tersebut telah kerap kali dilakukan, tetapi pelanggaran netralitas ASN masih saja terus terjadi,” imbuh dia.
Puadi membagi tiga faktor penyebab pelanggaran netralitas ASN. Pertama, ketidaktahuan atau minim informasi ASN bahwa sikap dan tindakannya sudah dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran netralitas.
Kedua, adanya intimidasi atau tekanan kepada ASN untuk mendukung kandidat tertentu. Ketiga, secara sadar memberikan dukungan kepada rekan, keluarga dan atau atasannya dengan harapan mendapatkan promosi jabatan.
“Fenomena ketidaktahuan marak terjadi seiring dengan perilaku sebahagian perilaku bermedia sosial termasuk ASN,” beber Puadi dikutip dari laman resmi Bawaslu.
Dia menegaskan, maraknya pelanggaran netralitas ASN yang terjadi pada Pemilihan tahun 2020 menjadi tantangan tersendiri karena ASN memiliki tugas melayani masyarakat.
Akibat pelanggaran netralitas ini, Puadi menjelaskan, ASN cenderung membeda-bedakan pelayanan yang diberikan terutama kepada para pendukung atau bukan pendukung kandidat.
“Pelanggaran ASN menjadi berita yang menjadi sorotan publik di pemilu terutama Penilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota,” terangnya.
Sementara itu, Anggota KASN Arie Budhiman menyebutkan data pelanggaran netralitas ASN pada Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Tahun 2020 terdpat 2.034 ASN yang dilaporkan, kemudian dari laporan tersebut terdapat 1.596 ASN yang terbukti melanggar dan dijatuhi sanksi.
“Nah dari angka tersebut yang telah ditindaklanjuti dengan penjatuhan sanksi adalah 1.373 ASN. Ini adalah capaian yang cukup signifikan,” pungkasnya. (BD)